Lahir di tengah keluarga besar, Matias Herman kurang mendapat perhatian di dalam keluarga. Anak ke lima dari sepuluh bersaudara ini, sejak kecil lebih senang bermain mainan perempuan bersama anak-anak perempuan. Tak ayal, ibunya pun kerap marah melihat tingkah Matias.
Di rumah, Matias sering disuruh membersihkan rumah dan mengerjakan pekerjaan pembantu lainnya. Matias tidak membantah, karena justru dia merasa hal itu sesuai dengan kepribadian dan panggilan hatinya. Mengerjakan pekerjaan wanita.
Suatu ketika Matias bertemu dengan seorang teman yang bekerja di salon. Di sana, Matias mulai belajar merias dan makin menemukan bakatnya. Dia pun makin yakin bahwa dirinya adalah wanita yang terperangkap di tubuh pria.
Sikap Matias yang makin feminim membuat adiknya malu dan tidak lagi menghargainya. Suatu hari ketika Matias sedang bermain dengan sesama teman waria-nya, adiknya datang dan membangunkannya dengan kasar dan menyeretnya pulang ke rumah.
“Perasaan saya waktu itu sudah menangis, rasanya ingin teriak.”, Matias menjelaskan. “Lama-lama saya berpikir, kalau saya terus begini saya bisa menderita batin.”, lanjut Matias yang akhirnya memutuskan merantau dari Manado ke Jakarta pada usia 17 tahun.
Di Jakarta Matias mulai mencari uang di dunia malam. Menjadi waria di kota metropolitan tidaklah mudah. Berbagai pengalaman buruk pernah dialami Dora (nama wanita Matias) seperti tidak dibayar pelanggan, dikejar-kejar tantib hingga berkelahi dengan sesama waria karena berebut pelanggan. Namun semua itu tetap dilakukannya untuk mendapat uang dan bersenang-senang. Minuman keras dan narkoba pun jadi temannya.
Sampai suatu saat Dora OD (over dosis). “Di situ saya sedih dan takut. Saya mulai berdoa dan bersumpah tidak akan lagi memakai narkoba.”, Matias mengisahkan.
Matias menjalankan sumpahnya, namun karena hidup sebatang kara dan tidak punya pekerjaan lain, dia tetap bekerja di café dan menjadi “mami”. Di sana, Matias juga meneruskan hobi minumnya. Sampai suatu ketika, kejadian buruk pun menimpanya. Matias ribut dengan seorang tamu dan kekerasan terjadi, tubuhnya jatuh dan kepalanya terbanting ke lantai. Lima jam Matias tak sadarkan diri.
Keesokan harinya Matias melakukan pengecekan di rumah sakit. Hasil scan menyatakan bahwa ada penyumbatan pada pembuluh darah otaknya. Matias mulai khawatir dengan biaya hidup dan biaya rumah sakit yang harus ditanggungnya, dia merasa ini adalah peringatan kedua dari Tuhan.
Sekali lagi Matias sembuh, namun dia tetap menjadi Dora sampai pada tahun 2005, Dora bertemu dengan seorang pria. Pria itu mengajaknya untuk datang ke sebuah ibadah. Dalam ibadah itu, 1Korintus 6:9 menjadi ayat yang menampar Dora. Ia pun memutuskan untuk kembali lagi ke jati dirinya yang sesungguhnya, menjadi seorang pria.
Matias memutuskan untuk mengikuti sebuah seminar bertajuk pria sejati. Sesi demi sesi diikutinya. Matias memotong habis rambutnya, perlahan gaya dan dandanannya pun kembali menjadi pria.
Setelah bertobat, Matias membawa dampak positif dan menginspirasi para waria yang ingin kembali menjadi pria. “Dia bisa memberikan contoh kepada waria-waria bahwa dia bisa hidup kembali lagi menjadi laki-laki.”, ujar rekannya Sadrakh Abednego.
Komitmen Matias sebagai pria ditandai dengan tanggung jawab yang berani diembannya. Dia memiliki lima orang anak asuh yang harus ditanggungnya.
“Saya sangat bangga karena bisa berubah, semua ini adalah mujizat Tuhan. Saya sangat berterima kasih kepada Tuhan Yesus.”, ujar Matias mengakhiri kesaksiannya.